Ketika seorang trader merasa telah cukup berpengalaman di dunia trading forex, ia akan rentan terserang “penyakit sombong”. Ia mulai percaya bahwa ia memang benar-benar bisa memprediksi dengan tepat ke mana harga akan bergerak. Ia merasa jumawa, merasa berada di puncak dunia.
“Penyakit” ini sungguh sangat rentan menyerang siapa pun yang telah berkecimpung di dunia trading forex selama bertahun-tahun. Apalagi ternyata mayoritas analisa yang ia buat ternyata valid, sehingga ada beberapa institusi seperti broker forex dan/atau penyedia layanan analisa trading tertarik untuk memanfaatkan jasa analisa darinya.
Jangankan yang “veteran forex” dan sukses, yang pemula dan remuk redam pun sering terserang “penyakit” ini; bahkan lebih parah. Ironis memang.
Penyakit “merasa hebat” seperti ini kerap menggiring seorang trader untuk berpikir bahwa ia telah benar-benar mengetahui setiap inci dari pergerakan pasar. Asumsi seperti ini – celakanya – justru berbahaya karena bisa membuat seorang trader forex merasa seperti “Dewa Trading”.
Pengidap “Sindrom Dewa Trading” memiliki semacam keyakinan bahwa ia bisa benar-benar memprediksi ke mana harga bergerak tanpa pernah meleset. Dalam pikirannya ia PASTI AKAN UNTUNG. Dalam keadaan seperti ini, ia telah benar-benar merasa bisa menihilkan kemungkinan bahwa ia bisa saja melakukan kesalahan.
Tetapi sayangnya pada kenyataannya tidak seorang trader pun bisa menghilangkan unsur ketidakpastian di pasar forex. Ketidakpastian telah menjadi karakter setiap bentuk bisnis; itulah yang disebut dengan resiko. Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan prediksi yang 100% akurat mengenai apa yang akan terjadi di pasar selanjutnya.
Sekali lagi: TIDAK ADA.
Prediksi 100% Akurat? Ah, Jangan Mimpi!
Berupaya memprediksi pergerakan pasar ibarat berusaha memprediksi masa depan. Saya yakin Anda akan sepakat dengan saya: tidak ada seorang pun yang bisa TAHU PERSIS apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, even in the next five minutes.
Masih segar dalam ingatan saya, ketika saya berbicara di sebuah forum tentang ketidakmampuan manusia memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa menit kemudian “kecelakaan kecil” terjadi: segelas air menumpahi laptop saya. Jelas, saya sebelumnya tidak tahu hal itu akan terjadi. Seperti itulah resiko.
Sebagai trader, jika Anda bersikeras memiliki “bakat supranatural” yang bisa memprediksi arah pasar selanjutnya dan dengan keras kepala mengesampingkan setiap kemungkinan yang ada, maka bersiaplah untuk menghadapi keterpurukan.
Tentu saja kita tidak sedang membicarakan mengenai kemampuan seorang trader berpengalaman dalam mengenali tingkah laku pasar. Dalam analisa teknikal kita mempercayai bahwa “history repeats itself”. Sejarah selalu berulang, dalam arti perilaku pasar telah terbukti secara historis selalu berulang.
Itulah sebabnya kita bisa mempelajari dan memanfaatkan – misalnya – pola-pola candlestick, price action dan perilaku indikator teknikal. Dari studi dan pengamatan seperti itu kita kemudian bisa memperkirakan ke mana kemungkinan harga akan bergerak.
Kemungkinan Bukan Kepastian
Nah, ini kata kuncinya: “kemungkinan”. Memperkirakan potensi pergerakan harga BERBEDA dengan merasa jumawa bisa meramal ke mana harga akan bergerak. Pendekatan model “kemungkinan” ini kemudian yang membuat seorang trader forex mengambil langkah hati-hati dan antisipasi dengan memasang stop loss. Ia juga akan mengatur modalnya dengan position sizing.
Kalaupun ia mengalami loss, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan kemudian akan mengevaluasi strategi trading yang dipergunakannya. Ini yang tidak pernah akan dilakukan oleh seorang trader yang mengidap “Sindrom Dewa Trading”.
Pengidap “Sindrom Dewa Trading” sangat mungkin tidak akan melakukan tindakan antisipasi resiko. Untuk apa, jika ia merasa akan selalu benar? Kalaupun ternyata ia mengalami kerugian, ia akan dengan keras kepala menyalahkan pasar (bagian ini yang selalu paling menggelikan) dan tidak mau melakukan evaluasi pada strategi trading yang ia miliki.
Fokus Pada Proses
Sebagai trader, sebaiknya Anda tidak berupaya untuk meramal, melainkan “membaca”. Apa yang dibaca? Tentu adalah perilaku dan situasi pasar terkini, untuk kemudian mengambil langkah strategis dan antisipasi yang perlu.
Ibarat menyetir mobil, ketika Anda ingin menyalip mobil di depan, sebaiknya Anda tidak berasumsi “pasti tidak ada kendaraan dari arah berlawanan”. Sebaliknya, yang harusnya Anda lakukan adalah mengamati apakah dari arah berlawanan ada kendaraan yang sedang berjalan?
Jika tidak, silakan pacu mobil Anda untuk mendahului. Jika ternyata ada, amati lagi: apakah kendaraan itu melaju kencang? Jika ya, sebaiknya tunda dulu niat untuk menyalip. Konyol dan pandir jika Anda bersikeras “tidak akan terjadi apa-apa” lalu nekat menyalip, sementara banyak faktor yang sangat memungkinkan untuk “terjadi apa-apa”.
Dalam trading, pola berpikir seperti di atas merupakan proses meminimalisir resiko. Apakah sudah ada sinyal trading yang valid? Apakah posisi yang akan diambil sudah sesuai dengan trend? Apakah lot yang akan ditransaksikan sesuai dengan kekuatan modal? Apakah batasan stop loss tidak terlalu besar? Apakah target profit sudah realistis? Dan sebagainya.
Proses seperti ini, kemungkinan besar diabaikan oleh pengidap Sindrom Dewa Trading. “Ah, tak perlu, nanti juga pasti akan untung,” begitu mungkin yang ada dalam pikirannya. Jika Anda sudah berpikir seperti itu – sorry to say – karir trading forex Anda sepertinya tak akan lama.
Mungkin saat ini di luar sana ada seorang pengidap “Sindrom Dewa Trading” sedang menertawakan tulisan ini dan melontarkan segala macam apologi dan justifikasi. Tidak apa-apa. Tugas saya hanya mengingatkan. Mudah-mudahan diterima.