Ketika resesi menjadi ancaman di depan mata, peluang apa yang bisa diraih trader? Menengok dari beberapa krisis dan resesi yang pernah terjadi sebelumnya, harga emas hampir selalu bergerak naik. Ini menjadikan trading emas sebagai kesempatan untuk meraup keuntungan di tengah krisis.
Resesi tahun 2023 sudah di depan mata. Saat ini, semua negara sedang harap-harap cemas dengan adanya kemungkinan pelemahan ekonomi yang dipicu oleh lonjakan inflasi. Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani menegaskan bahwa kondisi dunia yang belum lepas dari pandemi covid 19, tapi sudah disambut dengan resesi, membuat para pengambil kebijakan terjebak dalam situasi sulit. Belum lagi dengan invasi Rusia terhadap Ukraina yang masih memanas. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyebut bahwa perang Rusia-Ukraina belum akan berakhir dalam waktu dekat. Hal ini membuat tahun 2023 dibayang-bayang awan gelap kekhawatiran akan dampak negatif di sektor ekonomi. Beberapa kalangan menganggap bahwa potensi resesi di tahun 2023 itu memiliki kesamaan dengan yang terjadi di tahun 1997/1998. Benarkah demikian? Mari kita mengulas sedikit mengenai sejarah tersebut.
Krisis Ekonomi Asia 1997/1998
Krisis moneter yang terjadi di tahun 1998 awalnya dipicu oleh krisis yang terjadi di negeri tetangga yaitu Thailand. Di awal tahun 1990an ada ketimpangan antara suku bunga bank di Thailand dengan negara-negara lain, khususnya Jepang. Saat itu, suku bunga di Thailand sangat tinggi hingga mencapai 10% per tahun. Sementara itu, suku bunga di Jepang sangat rendah yakni berkisar 2% per tahun. Hal tersebut membuat beberapa pengusaha di Thailand mencoba peruntungan dengan membuat skema bisnis yang memanfaatkan ketimpangan suku bunga kedua negara tersebut. Mereka mendirikan perusahaan finansial yang melakukan peminjaman dalam jumlah besar ke negeri Jepang dengan bunga pengembalian rendah, lalu dana tersebut didistribusikan menjadi hutang kredit di Thailand yang punya pengembalian bunga tinggi.
Awalnya, strategi ini membawa dampak positif untuk masyarakat Thailand karena ekonomi Thailand tumbuh membaik, menjadi di atas 8% saat itu. Thailand semakin giat menjual hasil produksi negerinya ke pasar luar negeri. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di Thailand juga membuat masyarakat semakin konsumtif dengan berbelanja barang-barang impor dari luar negeri. Hal ini menyebabkan peningkatan permintaan mata uang asing di Thailand.
Tragedi mulai terjadi saat Thailand mengalami persaingan bisnis impor dengan China. Keuntungan bisnis ekspor Thailand mengalami penurunan. Perusahaan yang melakukan peminjaman uang yen Jepang semakin kesulitan untuk membayar hutang kreditnya yang terus berbunga. Dengan menurunnya industri ekspor dan kredit hutang macet yang terus bertambah, akhirnya Thailand mengambil kebijakan untuk membantu pelunasan kredit macet tersebut dengan memakai cadangan devisa mata uang asing milik pemerintah. Di sisi lain, Thailand pada saat itu memberlakukan kebijakan moneter dengan mematok nilai tukar mata uang baht dengan dollar AS pada level yang stabil dengan menggunakan cadangan devisanya. Masalahnya, cadangan devisa negara Thailand terbatas dan tidak mungkin selamanya bisa menahan kredit macet dan menstabilkan nilai mata uang baht.
Akhirnya pada tahun 1997, pemerintah Thailand mencabut kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar baht. Hal tersebut membuat nilai tukar baht jatuh lalu membuat investasi di seluruh dunia mengalami kepanikan besar, terutama di Asia. Amblesnya mata uang Thailand dalam waktu singkat membuat efek domino di kalangan investor termasuk yang menanamkan modalnya di Indonesia, Malaysia dan negara-negara berkembang lainnya di Asia. Nilai tukar rupiah langsung menghadapi tekanan jual yang sangat tinggi di pasar keuangan. Bank sentral di banyak negara Asia harus menguras cadangan devisanya jika hendak menstabilkan nilai mata uang negaranya. Namun, sebesar apapun cadangan sebuah negara tentu ada batasnya, seperti yang dialami Indonesia di mana nilai tukar Rupiah terjun bebas, dari Rp 2.000 menjadi Rp 16.000 terhadap dollar AS. Hal itulah yang menyebabkan banyaknya perusahaan jatuh bangkrut, termasuk lembaga perbankan di Indonesia.
Peluang dari Kasus 1997/1998
Sepanjang sejarah, resesi yang sudah beberapa kali melanda dunia justru bisa dijadikan peluang melalui trading emas. Jeff Clark, Analis Senior Logam Mulia dari GoldSilver.com, mengatakan, “Saya menengok ke belakang, di setiap resesi yang pernah terjadi 50 tahun belakangan ini. Ada 8 kali resesi di Amerika Serikat, dan emas selalu bergerak naik pada enam dari delapan resesi tersebut. Dua kali resesi memang emas sempat jatuh, tapi penurunannya tidak signifikan, hanya 1 digit saja.”
Saat resesi 1997-1998 ini terjadi, trader emas bisa mendapatkan peluang yang baik. Grafik di bawah ini menunjukkan bagaimana harga emas melonjak jauh pasca resesi terjadi. Emas di tahun 1997-1998 melonjak jauh dari sekitar $255 per troy ounce hingga mencapai sekitar $717 per troy ounce di 2006.
Sumber : tradingview.com ( 1998-1999 )
Emas menjadi salah satu safe haven terbaik saat resesi. Jika saat itu Anda melakukan trading emas dengan membeli di harga $255 per troy ounce dan menjual di harga $717 per troy ounce, berapa keuntungan yang Anda dapatkan? Anda mendapatkan potensi keuntungan sebesar $46.200 jika Anda trading emas dengan menggunakan 1 lot.
Untuk lebih lagi memahami dasar-dasar trading emas yang benar, Anda dapat memulai dengan edukasi online yang disediakan FOREXimf.com. Untuk mencoba trading emas secara langsung namun dengan modal virtual, Anda bisa membuka Akun Demo sehingga Anda bisa mulai berlatih menerapkan strategi trading. Pastikan di masa resesi nanti Anda tetap menjadikannya kesempatan berharga melalui trading emas bersama FOREXimf.com.