Apakah kalian tahu kalau Poundsterling, yang merupakan salah satu mata uang terkemuka di dunia ini pernah mengalami krisis mengerikan? Ya, mata uang Inggris ini nilai tukarnya pernah anjlok dalam satu malam saja. Uniknya, fenomena sedahsyat ini diduga kuat disebabkan oleh manuver keuangan yang dilakukan oleh satu orang tersohor pada zamannya. Akibat dari peristiwa tersebut, pemerintah Inggris hampir terancam bangkrut dan terpaksa menarik mata uangnya keluar dari mekanisme mata uang Eropa. Tidak hanya itu, Bank of England selaku bank sentral Inggris sempat menaikkan suku bunga hingga 50 persen hanya dalam waktu dua jam saja gara-gara tragedi ini. Pemerintah Inggris harus mengeluarkan dana sekitar 3,3 miliar poundsterling untuk menyelamatkan perekonomian. Tetapi usaha tersebut masih gagal untuk mengembalikan pound naik ke nilainya semula.
Sumber: Wikipedia.com
Kegagalan tersebut membuat nilai tukar Poundsterling terus melemah hingga berbulan-bulan. Peristiwa yang menghebohkan dunia ekonomi ini dikenal dengan nama Black Wednesday karena kejadiannya di hari Rabu tanggal 26 September 1992. Seorang investor terkenal di dunia keuangan diduga bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Dia adalah George Soros. Kira-kira apa yang menjadi pemicu peristiwa ini? Kenapa namanya sering disebut penyebab dari krisis ini?
Flashback Eropa di Tahun 1960an
Pertama saya mau menjelaskan kondisi perekonomian Eropa di tahun 1960-an. Benua Eropa bisa dibilang adalah benua kecil, terdiri dari banyak negara yang berbatasan langsung dan dekat secara geografis. Hal ini yang membuat negara-negara di Eropa punya hubungan ekonomi yang sangat erat satu sama lain sebelum bersatu jadi Euro. Dahulu tiap negara memiliki mata uang masing – masing, seperti poundsterling di Inggris, Deutsch Mark di Jerman, Franc di Perancis, dan sebagainya. Untuk membuat perdagangan antarnegara lebih stabil, negara-negara di Eropa berinisiatif untuk membuat sistem yang dapat menjaga kestabilan mata uang mereka sekaligus mempermudah perdagangan. Konsep ini diberlakukan di tahun 1960-an dan dinamakan Exchange Rate Mechanism (ERM).
Apa itu Exchange Rate Mechanism (ERM)?
Setiap negara yang bergabung dengan konsep ERM ini membuat kesepakatan untuk menjaga stabilitas nilai tukar uang mereka supaya nilai mata uangnya tidak berfluktuasi lebih dari enam persen dalam dua arah. Jadi maksimalnya itu hanya turun sebanyak 6% atau naik sebanyak 6%. Dengan begitu, andaikata jumlah uang yang beredar sudah terlalu banyak atau harganya terlalu rendah, negara itu harus membeli mata uangnya sendiri di pasar uang dengan menggunakan cadangan devisa negara. Sebaliknya, jika uang yang beredar terlalu sedikit atau harganya terlalu tinggi, negara tersebut harus mengedarkan lebih banyak mata uangnya di pasar uang.
Sistem ini dimulai setelah perang dunia kedua selesai, di mana negara – negara di Eropa bertekad agar tidak ada lagi perpecahan antar negara dan memperkuat hubungan antar negaranya. Jadi jika setiap negara saling terhubung, diharapkan tidak ada yang namanya perang. Jika ada salah satu negara kembali memulai perang, maka negara lain akan terkena imbasnya. ERM ini dicetuskan pada tahun 1977 dan akhirnya disetujui oleh negara – negara Eropa di tahun 1979.
Hubungan Exchange Rate Mechanism dengan Poundsterling
Sekilas memang ERM ini tampak bagus tetapi sebetulnya sistem ini punya kelemahan yang bisa berakibat fatal. Apa kelemahan tersebut? Setiap negara pasti punya masalah ekonominya masing – masing dan pastinya membutuhkan kebijakan ekonomi yang berbeda – beda. Contohnya jika salah satu negara mengalami resesi, salah satu kebijakan ekonomi yang perlu dilakukan adalah menurunkan suku bunga. Namun dengan ERM ini, negara tersebut tidak lagi bisa leluasa memberlakukan kebijakan ekonomi secara mandiri.
Inggris suatu kali mengalami deflasi di tahun 1992, di mana harga barang turun terus karena nilai mata uang Inggris terus menguat. Situasi ini memicu kemacetan di perekonomian Inggris sehingga orang-orang menunda konsumsi karena harga barang terus turun setiap hari. Akibatnya banyak perusahaan bangkrut dan terjadi PHK di mana-mana. Dalam situasi ini bank sentral Inggris seharusnya melakukan penurunan suku bunga, tetapi karena Inggris sudah tergabung dengan ERM maka Inggris harus mengikuti kebijakan ekonomi Jerman yang saat itu sedang menaikan suku bunga akibat inflasi besar – besaran di negaranya. Singkat cerita, Inggris dengan terpaksa mengikuti kebijakan Jerman tersebut sebagaimana keputusan Perdana Menteri Inggris waktu itu John Major. Hal itu membuat nilai tukar Poundsterling terus menguat. Tentu saja ekonomi Inggris jadi makin lesu karena barang – barang Inggris tidak laku di pasar Eropa.
Hal ini disadari oleh George Soros yang kemudian dikenal dengan julukan “The Man Who Broke the Bank of England”. Saat itu Soros dipercaya untuk mengelola dana para pengusaha kaya lewat perusahaan Soros Fund Management. Soros melihat kondisi ini sebagai salah satu peluang yang sayang untuk dilewatkan. Dengan metode short selling, dia berniat mengambil keuntungan dari kejatuhan nilai mata uang Inggris. Soros yang menguasai banyak dana investor superkaya di Eropa akhirnya berinisiatif untuk meminjam sebanyak mungkin poundsterling dari berbagai sumber seperti bank, sekuritas dan lembaga-lembaga keuangan di Eropa. Tujuan Soros adalah menjual poundsterling di saat harganya sedang tinggi, dan nanti poundsterlingnya dikembalikan lagi ke tempat dia meminjam ketika harga pound sudah jatuh. Jadi dia bisa dapat untung besar dari selisih penjualan dan pembelian.
Saat itu, Soros terus beropini di media dengan mengatakan bahwa pound sudah terlalu mahal. Hal tersebut memancing para pelaku keuangan lainnya khususnya fund manager, spekulan dan trader forex untuk menjual poundsterling mereka. Gara-gara pengaruh tekanan jual yang tinggi, harga poundsterling pun mulai turun. Bank Sentral Inggris yang masih bergabung dengan ERM berusaha untuk mempertahankan nilai tukar poundsterling dengan cadangan devisa dolar mereka. Dan puncaknya di tanggal 16 September 1992, Soros menjual semua poundsterlingnya yang diikuti oleh para trader forex lainnya. Seketika nilai tukar poundsterling anjlok dan sangat merugikan bank sentral Inggris yang harus terus menjaga kestabilan mata uang negara mereka. Inggris harus menguras cadangan devisa sebesar 50 miliar USD untuk membeli mata uang pound di pasar keuangan dan juga menaikkan suku bunga puluhan persen demi memancing para pelaku pasar untuk kembali membeli pound. Namun usaha tersebut gagal dan akhirnya Inggris mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan ERM.
Peluang Trading Forex di tengah Krisis
Menarik juga ya, bagaimana satu orang saja bisa memanfaatkan celah dalam situasi ekonomi negara dan akhirnya berhasil meraup keuntungan sangat besar. Bagaimana dengan kalian semua para pembaca? Jika kalian mengerti dengan situasi kondisi ekonomi dan finansial saat ini, bukan tidak mungkin kalian mendapatkan keuntungan dari hal tersebut. Seperti kondisi resesi yang diduga akan terjadi di tahun 2023, untuk Anda yang celik finansial, merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan dengan melakukan trading forex dan trading emas. Dengan kebijakan pengetatan yang dilakukan The Fed ditambah dengan kondisi ekonomi inggris yang pontang panting, harga pound jadi terus terjerembab saat ini. Contohnya bisa dilihat dari kondisi berikut:
Sumber: tradingview.com
Poundsterling tampak melemah sebesar 9000 pips terhadap dollar AS. Bayangkan jika Anda bisa membaca peluang tersebut. Apabila Anda trading sebesar 1 lot, maka Anda berpotensi mendapatkan peluang profit sekitar Rp 126 juta. Di saat kondisi pasar tidak menentu, di situlah peluang trading forex dan trading emas justru terbuka lebar karena pergerakan harganya akan sangat liar.
Jika kalian ingin lebih tahu mengenai peluang trading forex dan trading emas saat ini Anda bisa mulai simulasi dengan akun Demo. Anda juga bisa meng-upgrade wawasan seputar pasar forex dengan mengikuti webinar yang dibawakan pakar finansial FOREXimf.com. Jangan tunggu lebih lama lagi, peluang selalu ada di trading forex dan trading emas.